Jumat, 29 November 2013

Pemikiran Ibnu Khaldun & Al-Maqrizi



PEMIKIRAN EKONOMI
IBNU KHALDUN & AL-MAQRIZI

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : H. Amirus Shodiq, Lc.MA


Disusun oleh :
Kelompok 8               
M. Rizal Fanani           (212185)
Hibah Naqiyyah          (212193)
Muhammad Sofa        (212201)
Wartini                        (212209)
                       

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI'AH/ EI
2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Ibnu Kholdun dan al Maqrizi merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir ekonomi islam yang telah menyumbangkan banyak teori untuk perekonomian. Namun masih belum banyak yang mengetahui tentang pemikiran-pemikirannya. Padahal jauh sebelum adam Smith ataupun David Ricardo mengeluarkan pemikirannya, Ibnu Kholdun telah melahirkannya terlebih dahulu. Untuk itu kami dari kelompok enam berusaha semampunya untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran Ibnu kholdun dan Al Maqrizi mengenai perekonomian.
Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, Seperti pemikiran Al-Maqrizi dan Ibnu Khaldun.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dan pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana biografi dan pemikiran ekonomi Al-Maqrizi?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pemikiran Ekonomi Ibnu Kholdun
1.      Biografi
Ibnu Kholdun memiliki nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Kholdun, lahir di Tunisia pada awal Ramadhan tahun 732 H atau 27 Mei 1332 M. Keluarganya memiliki darah keturunan Hadramaut dan bersambung nasabnya hingga salah satu sahabat Nabi yang terkenal yaitu Wail bin Hujr. Salah satu cucu Wail, Kholid bin Utsman pernah ikut ke Andalusia (Spanyol) bersama tentara Yaman yang bergabung dalam pasukan ekspedisi, namun sesampainya di spanyol nama Kholid berubah menjadi Kholdun.
Karena itulah keturunan setelahnya dipanggil dengan nama Kholdun. Masa kelahiran Ibnu Kholdun merupakan penghujung zaman pertengahan dan permulaan Renaissance di Eropa. Ia hidup ketika dunia Islam berada pada masa kemunduran dan disintegerasi yang ditandai dengan kejatuhan kekhalifahan Abbasiyah ke tangan pasukan Moghul pimpinan Timur lenk. Ia dan keluarganya pindah ke Tunisia karena memang Tunisa menjadi tujuan hijrah oleh para ulama Andalusia pada saat itu. Ayahanda Ibnu Kholdun adalah ahli ilmu dan pecinta sastra. Dan ayahnya sendiri yang bertanggung jawab terhadap pendidikan Ibnu Kholdun dan memberinya kesempatan untuk belajar pada ulama-ulama besar dan sastrawan. Sehingga Ibnu Kholdun ahli dalam banyak ilmu seperti astronomi, matematika, ilmu-ilmu alam, nahwu sharaf, balaghah dan juga sastra.[1]
Ketika berusia 17 tahun, penyakit kusta mewabah di Tunisa yang menyebabkan orang tua dan para guru besar Ibnu Kholdun meninggal dunia. Karena wabah tersebut banyak ulama dan sastrawan mengungsi ke Maroko Barat untuk menyelamatkan diri. Hal ini menyebabkan kesempatan belajar Ibnu Kholdun menjadi sulit, akhirnya ia pun bergabung dengan pemerintahan seperti yang pernah dilakukan oleh kakeknya. Selama bergabung dengan pemerintahan inilah perjalanan hidupnya menjadi banyak warna termasuk pernah dipenjara selama 2 tahun.
Selain dikenal sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus kawakan. Setelah mundur dari dunia politik, Ibnu Kholdun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qal’at Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Kholdun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal yaitu al Muqoddimah. Ibnu Kholdun wafat di Kairo tanggal 25 ramadhan 808 H/19 maret 1406 M, bulan yang sama ketika ia lahir.
2.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Kholdun
a.       Keseimbangan Harga
Dalam bukunya al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menulis secara khusus satu bab berjudul “Harga-Harga di Kota”.[2] Ia membagi jenis barang menjadi dua jenis, yakni barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak (kota besar), maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok akan mendapatkan prioritas. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga.  Adapun untuk barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat.
Suplai bahan pokok penduduk kota besar jauh lebih besar daripada suplai bahan pokok penduduk kota kecil. Menurut Ibn Khaldun, penduduk kota besar memiliki suplai bahan pokok yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar lebih murah. Sementara itu, suplai bahan pokok di kota kecil relative kecil, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan, sehingga harganya relative lebih mahal. Di lain pihak, permintaan terhadap barang-barang pelengkap akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup.[3]
Ibnu Kholdun juga menjelaskan mekanisme permintaan dan penawaran dalam membentuk harga keseimbangan. Ia juga menjelaskan pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran. Ditinjau dari segi biaya produksi, pengenaan pajak ini akan meningkatkan harga jual, sehingga akan mengakibatkan kenaikan harga. 
Pada bagian lain dari bukunya, Ibn Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan:
“Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun.”[4]
Dengan demikian, Ibn Khaldun juga sudah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu keseimbangan harga.
b.      Uang
Menurut Ibn Khaldun, kekayaan suatu Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran positif negara tersebut. Bisa saja satu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya. Namun bila hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Hal ini sangat berbeda dengan upaya mencari keuntungan dengan memutar uang di bursa.[5]
 Bagi Ibnu Kholdun, uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah, bahwa ia bernilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali pemerintah menetapkan nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubahnya.[6]
Oleh karena itu, Ibn Khaldun selain menyarankan digunakannya uang standar emas / perak beliau juga menyarankan konstannya harga emas dan perak. Harga-harga lain bleh berfluktuasi, tetapi tidak harga emas dan perak.[7]

B.     Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi
1.      Biografi
Al maqrizi mempunyai nama lengkap Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al Husaini. Ia merupakan murid dari Ibnu kholdun, lahir di desa Barjuwan Kairo 766 H. Al maqrizi sangat mencintai ilmu, berbagai macam ilmu dipelajarinya seperti fiqih, hadits, dan sejarah dari ulama-ulama terkemuka pada masanya. Spesialisasinya adalah uang dan inflasi. Interaksinya dengan Ibnu Kholdun dimulai ketika Abu al Iqtishad (bapak ekonomi) ini tinggal di Kairo dan menjabat sebagai hakim agung (qadi al qudah) madzhab maliki pada masa pemerintahan sultan Barquq.
Ketika berusia 22 tahun, Al Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan dinasti mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M) Al Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan al Insya (secretariat negara). Kemudian diangkat menjadi wakil qadi pada kantor hakim agung madzhab syafi’I, khatib di masjid ‘amr dan madrasah al sultan hasan, imam masjid jami al hakim, dan guru hadis di madrasah al muayyadah. 
Tahun 791 H (1389 M), sultan Barquq mengangkat al Maqrizi menjadi muhtasib di Kairo selama dua tahun. Disinilah al Maqrizi banyak bersentuhan dengan permasalahan pasar, perdagangan, dan mudarabah. Sehingga ia terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, serta kaidah timbangan.[8]

2.      Inflasi
Al-Maqrizi menggolongkan inflasi dalam dua golongan, yaitu:
a.       Natural Inflation
Inflasi jenis ini diakibatkan oleh sebab-sebab alamiah yang tidak mampu dikendalikan. Menurut Ibn Al Maqrizi, inflasi ini diakibatkan oleh turunnya penawaran agregatif atau naiknya permintaan agregatif.
Natural inflation dapat diartikan sebagai berikut:
1)      Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian
2)      Naiknya daya beli masyarakat secara riil.[9]
Berdasarkan penyebabnya, natural inflation dapat dibedakan menjadi dua golongan berikut:
1)      Akibat uang yang masuk dari luar terlalu banyak, dengan ekspor meningkat sedangkan impor menurun. Nilai net export yang sangat besar mengakibatkan naiknya permintaan Agregatif.
Hal ini pernah terjadi semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Khalifah Umar bin Khattab ra. melarang penduduk madinah membeli barang atau komoditas selama 2 hari berturut-turut. Akibatnya, permintaan Agregatif turun, dan harga kembali normal.
2)      Akibat turunnya tingkat produksi karena paceklik, perang, ataupun embargo dan boikot.
Hal ini juga pernah terjadi semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu terjadi kelangkaan gandum, mengakibatkan naiknya tingkat harga. Untuk mengatasinya, Khalifah mengimpor gandum dari Fustat, Mesir sehingga penawaran agregatif barang di pasar kembali naik yang mengakibatkan turunnya tingkat harga.
b.      Human Error Inflation
Dalam hal ini adalah inflasi yang diakibatkan kesalahan manusia. Human error inflation disebabkan oleh tiga hal berikut:
1)      Korupsi dan keburukan administrasi
Korupsi akan mengganggu tingkat harga karena para produsen akan menaikkan harga jual produknya untuk menutupi biaya yang telah dikeluarkan. Korupsi dan kelemahan administrasi menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan ekonomi biaya tinggi, selain itu juga sangat membahayakan perekonomian yakni terjerat pada spiralling inflation dan hyper inflation.
2)      Pajak yang berlebihan
Efek yang ditimbulkan oleh pajak yang berlebihan pada perekonomian hampir sama dengan efek yang ditimbulkan oleh korupsi dan administrasi yang buruk.
3)      Peningkatan sirkulasi mata uang fullus
Pencetakan uang yang berlebihan jelas akan mengakibatkan naiknya tingkat harga secara keseluruhan (inflasi). Menurutnya kenaikan harga komoditas adalah kenaikan dalam bentuk jumlah uang (fulus) atau nominal, sedangkan jika diukur dengan emas (dinar emas), harga komoditas tersebut jarang sekali mengalami kenaikan. Ibn Al Maqrizi berpendapat bahwa uang sebaiknya dicetak hanya pada tingkat minimal yang dibutuhkan untuk bertransaksi.[10]
3.      Uang
a.       Sejarah dan fungsi uang
Dalam sejarah perkembangannya, Al maqrizi menguraikan bahwa bangsa Arab jahiliyah menggunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia serta mempunyai bobot lebih berat dari pada di masa islam.
Setelah islam datang, Rosulullah menetapkan berbagai praktik muamlah yang menggunakan kedua mata uang tersebut, bahkan mengkaitkannya dengan hukum zakat harta. Penggunaan kedua mata uang tersebut terus berlanjut tanpa perubahan sedikit pun hingga tahun 18 H ketika khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafaz-lafaz islam pada kedua mata uang tersebut.
Perubahan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 76 H. Khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham islam. Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut sampai pemerintahan Al Mu’tashim, khalifah terakhir dinasti Abbasiyah.
Menurut Al Maqrizi, kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh Mamluk semakin kuat di kalangan istana, termasuk kebijakan percetakan mata uang dirham campuran. Pencetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah Sultan Muhammad Al Kamil ibn Al Adil Al Ayyubi, sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap dirhamnya.
Pasca pemerintahan sultan Al Kamil, pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hinga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan volume percetakan dan menetapkan rasio 24 fulus per dirham. Akibatnya, rakyat mengalami banyak kerugian karena harga barang-barang yang dulu berharga ½ dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini semkain memburuk ketika aktivitas percetakan fulus meluas pada masa pemerintahan Sultan Al Adil Kitbugha dan Sultan Al Zahir Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan kelangkaan barang-barang.
Oleh karena itu menurut pandangan Al Maqrizi, mata uang yang dapat diterima hanya mata uang yang terdiri dari emas dan perak selain itu menurutnya tidak layak disebut mata uang. Di lain pihak menurut pandangan al Maqrizi uang bukan satu-satunya factor yang mempengaruhi kenaikan harga-harga. Menurutnya penggunaan mata uang emas/ perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi dapat juga terjadi karena factor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
b.      Konsep daya beli uang
Menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Dalam hal demikian, Al-Maqrizi memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan peningkatan laba nominal mereka. Menurutnya, mereka akan menyadari hal tersebut ketika membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai macam pengeluarannya.
Kebijakan moneter islam, Dalam al quran maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai standar nilai tukar uang. Khalifah Umar bin Khattab telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang dari kulit binatang. Walaupun islam tidak melarang penggunaan mata uang selain dari emas/ perak namun Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan fiduciary money akan mengakibatkan hilangnya dinar dari peredaran. Imam Ghazali membolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas dan perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Jadi ada kebolehan bersyarat. Bila uang yang di back up secara parsial saja dapat memicu inflasi, maka uang yang tidak di back up sama sekali dengan logam mulia akan lebih mudah dalam memicu inflasi. Itulah sebabnya mengapa Al Ghazali memperbolehkan penggunaannya hanya dengan syarat pemerintah dapat menjaga nilainya. Karena tanpa adanya kaitan dengan emas/ perak maka pemerintah dapat melakukan seignorage secara leluasa.[11]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
           
Dalam analisis Ibnu kholdun kita bisa memetik bahwa jauh sebelum Adam smith dan david Ricardo mengemukakan teori ekonominya, Ibnu kholdun sudah membahas sebelumnya. Baik tentang perdagangan internasional, teori nilai dan kerja, juga pajak. Kiranya sebagai bagian dari umat islam kita perlu mencontoh apa yang sudah menjadi pemikiran abu al iqtishad ini. Ibnu Kholdun tidak menilai uang yang banyak merupakan standar kekayaan suatu negara. Baginya standar kekayaan negara dilihat dari tingkat produktivitas negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif.
 Seperti Al Ghazali melihat uang, uang tidak harus dari emas dan perak. Namun uang yang beredar harus mempunyai cadangan emas/ perak (back up) dimana pemerintah menetapkan satandar satuannya.
Al maqrizi banyak membahas tentang uang dan inflasi. Tidak seperti ekonomi konvensional bahwa inflasi hanya terbagi menjadi dua (demand pull inflation) dan (cost push inflation), al Maqrizi membagi dua penyebab inflasi yaitu natural inflation dan human error inflation.
Bagi Al Maqrizi hanya uang emas/ perak yang pantas dijadikan alat tukar, selain itu menurutnya tidak pantas dijadikan sebagai mata uang. Mengingat pada zamannya fulus dicetak secara besar-besaran oleh pemerintah untuk mengambil keuntungan dibaliknya (seignorage).








DAFTAR PUSTAKA



Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 2004, Jakarta:Rajawali Pers
Drs. Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, 2002, Jakarta: Salemba Empat.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Edisi Indonesia Penerj. Ahmadie Thoha, 2000, Pustaka Firdaus.
A.                Karim, Ir. Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, 2007, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http//:azlinavazhila.blogspot.com/2011/05/sejarah-pemikiran-Ibnu-Khaldun-al.html?m=1




[1] http//:azlinavazhila.blogspot.com/2011/05/sejarah-pemikiran-Ibnu-Khaldun-al.html?m=1
[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Edisi Indonesia Penerj. Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 421-423.
[3] Ir. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:2007, hlm. 148.
[4] Ibid. The Muqaddimah, English Edition Transl. Franz Rosenthal hlm. 338.
[5] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Edisi Pertama, Cet. I. IIIT Indonesia, Jakarta:2002, hlm. 13
[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah, 1:407.
[7] Drs. Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta:2002, hlm. 26.
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:Rajawali Pers 2004, hlm.414-417.
[9] Ibid, hlm.419.
[10] Ibid, hlm.4120-4125
[11] http//nurrahma91.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-ekonomi-almaqrizi_27.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar