PEMIKIRAN EKONOMI
IBNU KHALDUN & AL-MAQRIZI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : H. Amirus Shodiq, Lc.MA
Disusun oleh :
Kelompok 8
M. Rizal Fanani (212185)
Hibah Naqiyyah (212193)
Muhammad Sofa (212201)
Wartini (212209)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI'AH/ EI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ibnu Kholdun dan al Maqrizi
merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir ekonomi islam yang telah
menyumbangkan banyak teori untuk perekonomian. Namun masih belum banyak yang
mengetahui tentang pemikiran-pemikirannya. Padahal jauh sebelum adam Smith
ataupun David Ricardo mengeluarkan pemikirannya, Ibnu Kholdun telah
melahirkannya terlebih dahulu. Untuk itu kami dari kelompok enam berusaha
semampunya untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran Ibnu kholdun dan Al Maqrizi
mengenai perekonomian.
Sejarah
membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan
mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris
dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, Seperti pemikiran Al-Maqrizi dan
Ibnu Khaldun.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dan pemikiran ekonomi
Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana biografi dan pemikiran ekonomi
Al-Maqrizi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
Ekonomi Ibnu Kholdun
1.
Biografi
Ibnu Kholdun
memiliki nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Kholdun, lahir di
Tunisia pada awal Ramadhan tahun 732 H atau 27 Mei 1332 M. Keluarganya memiliki
darah keturunan Hadramaut dan bersambung nasabnya hingga salah satu sahabat
Nabi yang terkenal yaitu Wail bin Hujr. Salah satu cucu Wail, Kholid bin Utsman
pernah ikut ke Andalusia (Spanyol) bersama tentara Yaman yang bergabung dalam
pasukan ekspedisi, namun sesampainya di spanyol nama Kholid berubah menjadi
Kholdun.
Karena itulah
keturunan setelahnya dipanggil dengan nama Kholdun. Masa kelahiran Ibnu
Kholdun merupakan penghujung zaman pertengahan dan permulaan Renaissance di
Eropa. Ia hidup ketika dunia Islam berada pada masa kemunduran dan
disintegerasi yang ditandai dengan kejatuhan kekhalifahan Abbasiyah ke tangan
pasukan Moghul pimpinan Timur lenk. Ia dan keluarganya pindah ke Tunisia karena
memang Tunisa menjadi tujuan hijrah oleh para ulama Andalusia pada saat itu.
Ayahanda Ibnu Kholdun adalah ahli ilmu dan pecinta sastra. Dan ayahnya sendiri
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan Ibnu Kholdun dan memberinya
kesempatan untuk belajar pada ulama-ulama besar dan sastrawan. Sehingga Ibnu
Kholdun ahli dalam banyak ilmu seperti astronomi, matematika, ilmu-ilmu alam,
nahwu sharaf, balaghah dan juga sastra.[1]
Ketika berusia
17 tahun, penyakit kusta mewabah di Tunisa yang menyebabkan orang tua dan para
guru besar Ibnu Kholdun meninggal dunia. Karena wabah tersebut banyak ulama dan
sastrawan mengungsi ke Maroko Barat untuk menyelamatkan diri. Hal ini
menyebabkan kesempatan belajar Ibnu Kholdun menjadi sulit, akhirnya ia pun
bergabung dengan pemerintahan seperti yang pernah dilakukan oleh kakeknya.
Selama bergabung dengan pemerintahan inilah perjalanan hidupnya menjadi banyak
warna termasuk pernah dipenjara selama 2 tahun.
Selain dikenal
sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus kawakan. Setelah mundur dari
dunia politik, Ibnu Kholdun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di
Qal’at Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama
empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Kholdun menyelesaikan
penulisan karyanya yang sangat fenomenal yaitu al Muqoddimah. Ibnu Kholdun
wafat di Kairo tanggal 25 ramadhan 808 H/19 maret 1406 M, bulan yang sama
ketika ia lahir.
2.
Pemikiran
Ekonomi Ibnu Kholdun
a.
Keseimbangan
Harga
Dalam bukunya
al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menulis secara khusus satu bab berjudul “Harga-Harga
di Kota”.[2] Ia
membagi jenis barang menjadi dua jenis, yakni barang kebutuhan pokok dan barang
mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan
selanjutnya populasinya bertambah banyak (kota besar), maka pengadaan
barang-barang kebutuhan pokok akan mendapatkan prioritas. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Adapun untuk barang mewah, permintaannya akan
meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup.
Akibatnya, harga barang mewah meningkat.
Suplai bahan pokok penduduk kota besar jauh lebih besar daripada suplai
bahan pokok penduduk kota kecil. Menurut Ibn Khaldun, penduduk kota besar
memiliki suplai bahan pokok yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan
pokok di kota besar lebih murah. Sementara itu, suplai bahan pokok di kota kecil
relative kecil, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan, sehingga
harganya relative lebih mahal. Di lain pihak, permintaan terhadap barang-barang
pelengkap akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya
hidup.[3]
Ibnu Kholdun
juga menjelaskan mekanisme permintaan dan penawaran dalam membentuk harga
keseimbangan. Ia juga menjelaskan pengaruh meningkatnya biaya produksi karena
pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran.
Ditinjau dari segi biaya produksi, pengenaan pajak ini akan meningkatkan harga
jual, sehingga akan mengakibatkan kenaikan harga.
Pada bagian
lain dari bukunya, Ibn Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran
terhadap harga. Ia mengatakan:
“Ketika barang-barang yang tersedia sedikit,
harga-harga akan naik. Namun bila jarak antar kota dekat dan aman untuk
melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan
barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun.”[4]
Dengan
demikian, Ibn Khaldun juga sudah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan
penawaran sebagai penentu keseimbangan harga.
b.
Uang
Menurut Ibn
Khaldun, kekayaan suatu Negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran positif
negara tersebut. Bisa saja satu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya. Namun bila hal itu bukan merupakan refleksi
pesatnya pertumbuhan sektor produksi, uang yang melimpah itu tidak ada
nilainya. Hal ini sangat berbeda dengan upaya mencari keuntungan dengan memutar
uang di bursa.[5]
Bagi Ibnu
Kholdun, uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah,
bahwa ia bernilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali pemerintah menetapkan
nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubahnya.[6]
Oleh karena itu, Ibn Khaldun selain menyarankan digunakannya uang standar
emas / perak beliau juga menyarankan konstannya harga emas dan perak.
Harga-harga lain bleh berfluktuasi, tetapi tidak harga emas dan perak.[7]
B. Pemikiran Ekonomi
Al-Maqrizi
1. Biografi
Al maqrizi mempunyai nama lengkap Taqiyuddin
Abu al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al Husaini. Ia merupakan murid dari
Ibnu kholdun, lahir di desa Barjuwan Kairo 766 H. Al maqrizi sangat mencintai
ilmu, berbagai macam ilmu dipelajarinya seperti fiqih, hadits, dan sejarah dari
ulama-ulama terkemuka pada masanya. Spesialisasinya adalah
uang dan inflasi. Interaksinya dengan Ibnu Kholdun dimulai ketika Abu al
Iqtishad (bapak ekonomi) ini tinggal di Kairo dan menjabat sebagai hakim agung
(qadi al qudah) madzhab maliki pada masa pemerintahan sultan Barquq.
Ketika berusia 22 tahun,
Al Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan dinasti mamluk. Pada tahun 788 H
(1386 M) Al Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan al Insya
(secretariat negara). Kemudian diangkat menjadi wakil qadi pada kantor hakim
agung madzhab syafi’I, khatib di masjid ‘amr dan madrasah al sultan hasan, imam
masjid jami al hakim, dan guru hadis di madrasah al muayyadah.
Tahun 791 H (1389 M),
sultan Barquq mengangkat al Maqrizi menjadi muhtasib di Kairo selama dua tahun.
Disinilah
al Maqrizi banyak bersentuhan dengan permasalahan pasar, perdagangan, dan mudarabah.
Sehingga ia terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, serta
kaidah timbangan.[8]
2. Inflasi
Al-Maqrizi menggolongkan inflasi dalam dua golongan, yaitu:
a. Natural Inflation
Inflasi jenis ini
diakibatkan oleh sebab-sebab alamiah yang tidak mampu dikendalikan. Menurut Ibn
Al Maqrizi, inflasi ini diakibatkan oleh turunnya penawaran agregatif atau
naiknya permintaan agregatif.
Natural inflation dapat
diartikan sebagai berikut:
1) Gangguan terhadap jumlah
barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian
2) Naiknya daya beli
masyarakat secara riil.[9]
Berdasarkan penyebabnya, natural inflation dapat dibedakan menjadi dua
golongan berikut:
1) Akibat uang yang masuk
dari luar terlalu banyak, dengan ekspor meningkat sedangkan impor menurun.
Nilai net export yang sangat besar mengakibatkan naiknya permintaan Agregatif.
Hal ini pernah terjadi
semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, Khalifah Umar bin Khattab ra. melarang penduduk madinah membeli
barang atau komoditas selama 2 hari berturut-turut. Akibatnya, permintaan
Agregatif turun, dan harga kembali normal.
2) Akibat turunnya tingkat
produksi karena paceklik, perang, ataupun embargo dan boikot.
Hal ini juga pernah
terjadi semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu terjadi
kelangkaan gandum, mengakibatkan naiknya tingkat harga. Untuk mengatasinya,
Khalifah mengimpor gandum dari Fustat, Mesir sehingga penawaran agregatif
barang di pasar kembali naik yang mengakibatkan turunnya tingkat harga.
b. Human Error Inflation
Dalam hal ini adalah
inflasi yang diakibatkan kesalahan manusia. Human error inflation disebabkan
oleh tiga hal berikut:
1) Korupsi dan keburukan
administrasi
Korupsi akan mengganggu
tingkat harga karena para produsen akan menaikkan harga jual produknya untuk
menutupi biaya yang telah dikeluarkan. Korupsi dan kelemahan administrasi
menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan ekonomi biaya tinggi, selain itu
juga sangat membahayakan perekonomian yakni terjerat pada spiralling inflation
dan hyper inflation.
2) Pajak yang berlebihan
Efek yang ditimbulkan oleh
pajak yang berlebihan pada perekonomian hampir sama dengan efek yang
ditimbulkan oleh korupsi dan administrasi yang buruk.
3) Peningkatan sirkulasi mata
uang fullus
Pencetakan uang yang
berlebihan jelas akan mengakibatkan naiknya tingkat harga secara keseluruhan
(inflasi). Menurutnya kenaikan harga komoditas adalah kenaikan dalam bentuk
jumlah uang (fulus) atau nominal, sedangkan jika diukur dengan emas (dinar
emas), harga komoditas tersebut jarang sekali mengalami kenaikan. Ibn Al
Maqrizi berpendapat bahwa uang sebaiknya dicetak hanya pada tingkat minimal
yang dibutuhkan untuk bertransaksi.[10]
3.
Uang
a.
Sejarah dan fungsi
uang
Dalam
sejarah perkembangannya, Al maqrizi menguraikan bahwa bangsa Arab jahiliyah
menggunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang mereka yang
masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia serta mempunyai bobot lebih berat
dari pada di masa islam.
Setelah
islam datang, Rosulullah menetapkan berbagai praktik muamlah yang menggunakan
kedua mata uang tersebut, bahkan mengkaitkannya dengan hukum zakat harta.
Penggunaan kedua mata uang tersebut terus berlanjut tanpa perubahan sedikit pun
hingga tahun 18 H ketika khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafaz-lafaz
islam pada kedua mata uang tersebut.
Perubahan
yang sangat signifikan terjadi pada tahun 76 H. Khalifah Abdul Malik bin Marwan
melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham islam. Penggunaan
kedua mata uang ini terus berlanjut sampai pemerintahan Al Mu’tashim, khalifah
terakhir dinasti Abbasiyah.
Menurut
Al Maqrizi, kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh Mamluk semakin kuat di
kalangan istana, termasuk kebijakan percetakan mata uang dirham campuran.
Pencetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah Sultan
Muhammad Al Kamil ibn Al Adil Al Ayyubi, sebagai alat tukar terhadap
barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap
dirhamnya.
Pasca pemerintahan
sultan Al Kamil, pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hinga pejabat di
tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan
sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan volume percetakan dan menetapkan
rasio 24 fulus per dirham. Akibatnya, rakyat mengalami banyak kerugian karena
harga barang-barang yang dulu berharga ½ dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini
semkain memburuk ketika aktivitas percetakan fulus meluas pada masa
pemerintahan Sultan Al Adil Kitbugha dan Sultan Al Zahir Barquq yang
mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan kelangkaan barang-barang.
Oleh karena itu
menurut pandangan Al Maqrizi, mata uang yang dapat diterima hanya mata uang
yang terdiri dari emas dan perak selain itu menurutnya tidak layak disebut mata
uang. Di lain pihak menurut pandangan al Maqrizi uang bukan satu-satunya factor
yang mempengaruhi kenaikan harga-harga. Menurutnya penggunaan mata uang emas/
perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi
dapat juga terjadi karena factor alam dan tindakan sewenang-wenang dari
penguasa.
b. Konsep daya beli
uang
Menurut Al-Maqrizi,
pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari
pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Dalam
hal demikian, Al-Maqrizi memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan
peningkatan laba nominal mereka. Menurutnya, mereka akan menyadari hal tersebut
ketika membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai macam
pengeluarannya.
Kebijakan moneter
islam, Dalam al quran maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan
untuk menggunakan dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai standar nilai tukar
uang. Khalifah Umar bin Khattab telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang
dari kulit binatang. Walaupun islam tidak melarang penggunaan mata uang selain
dari emas/ perak namun Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan fiduciary
money akan mengakibatkan hilangnya dinar dari peredaran. Imam Ghazali
membolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas dan perak selama
pemerintah mampu menjaga nilainya.
Jadi ada kebolehan bersyarat. Bila uang yang di back up secara parsial saja dapat memicu inflasi, maka uang yang tidak di back up sama sekali dengan logam mulia akan lebih mudah dalam memicu inflasi. Itulah sebabnya mengapa Al Ghazali memperbolehkan penggunaannya hanya dengan syarat pemerintah dapat menjaga nilainya. Karena tanpa adanya kaitan dengan emas/ perak maka pemerintah dapat melakukan seignorage secara leluasa.[11]
Jadi ada kebolehan bersyarat. Bila uang yang di back up secara parsial saja dapat memicu inflasi, maka uang yang tidak di back up sama sekali dengan logam mulia akan lebih mudah dalam memicu inflasi. Itulah sebabnya mengapa Al Ghazali memperbolehkan penggunaannya hanya dengan syarat pemerintah dapat menjaga nilainya. Karena tanpa adanya kaitan dengan emas/ perak maka pemerintah dapat melakukan seignorage secara leluasa.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
analisis Ibnu kholdun kita bisa memetik bahwa jauh sebelum Adam smith dan david
Ricardo mengemukakan teori ekonominya, Ibnu kholdun sudah membahas sebelumnya.
Baik tentang perdagangan internasional, teori nilai dan kerja, juga pajak.
Kiranya sebagai bagian dari umat islam kita perlu mencontoh apa yang sudah
menjadi pemikiran abu al iqtishad ini. Ibnu Kholdun tidak menilai uang yang
banyak merupakan standar kekayaan suatu negara. Baginya standar kekayaan negara
dilihat dari tingkat produktivitas negara tersebut dan neraca pembayaran yang
positif.
Seperti Al Ghazali melihat uang, uang tidak
harus dari emas dan perak. Namun uang yang beredar harus mempunyai cadangan
emas/ perak (back up) dimana pemerintah menetapkan satandar satuannya.
Al
maqrizi banyak membahas tentang uang dan inflasi. Tidak seperti ekonomi
konvensional bahwa inflasi hanya terbagi menjadi dua (demand pull inflation)
dan (cost push inflation), al Maqrizi membagi dua penyebab inflasi yaitu
natural inflation dan human error inflation.
Bagi
Al Maqrizi hanya uang emas/ perak yang pantas dijadikan alat tukar, selain itu
menurutnya tidak pantas dijadikan sebagai mata uang. Mengingat pada zamannya
fulus dicetak secara besar-besaran oleh pemerintah untuk mengambil keuntungan
dibaliknya (seignorage).
DAFTAR
PUSTAKA
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, 2004,
Jakarta:Rajawali Pers
Drs. Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam
Ekonomi Islam, 2002, Jakarta:
Salemba Empat.
Ibn
Khaldun, Muqaddimah, Edisi Indonesia Penerj. Ahmadie Thoha, 2000,
Pustaka Firdaus.
A.
Karim, Ir. Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga,
2007, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http//:azlinavazhila.blogspot.com/2011/05/sejarah-pemikiran-Ibnu-Khaldun-al.html?m=1
[1]
http//:azlinavazhila.blogspot.com/2011/05/sejarah-pemikiran-Ibnu-Khaldun-al.html?m=1
[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Edisi Indonesia Penerj. Ahmadie
Thoha, Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 421-423.
[3] Ir. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:2007, hlm. 148.
[4] Ibid. The Muqaddimah, English Edition Transl. Franz Rosenthal
hlm. 338.
[5] Adiwarman Karim, Ekonomi
Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Edisi Pertama, Cet. I. IIIT Indonesia,
Jakarta:2002, hlm. 13
[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah,
1:407.
[7] Drs. Muhammad,
Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta:2002,
hlm. 26.
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:Rajawali Pers 2004, hlm.414-417.
[9] Ibid, hlm.419.
[10] Ibid, hlm.4120-4125
[11]
http//nurrahma91.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-ekonomi-almaqrizi_27.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar